oleh

Ulasan Jurnalis Channelbali.com : Antara Covid-19, Media & Kekuasaan

CHANNELBALI Kaltim | Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) membuktikan bagaimana peran media dan kekuasaan bekerja di semua lapisan masyarakat. Propaganda bahaya virus itu masuk ke dalam relung paling privat kemanusiaan kita. Ancaman kematian yang bisa merenggut siapa saja tanpa kenal pejabat, masyarakat awam hingga ke lapisan paling bawah, larut dalam propaganda Covid-19.

Covid-19 adalah wabah penyakit yang menyerang paru-paru melalui virus yang masuk melalui saluran pernapasan dan cairan air liur (dophlet) yang masuk ke saluran pernapasan kita. Virus ini berinkubasi selama 14 hari dalam tubuh khususnya paru-paru sehingga mengakibatkan pengidapnya menjadi sulit bernapas dan jika tidak mendapat pertolongan medis serta minimnya produksi mekanisme pertahanan tubuh berupa sel-sel darah putih membuat penderitanya meninggal dunia.

Covid-19 yang dideklarasikan di sejumlah media mainstream muncul pertama kali di kota Wuhan Tiongkok (China) pada akhir Desember 2019 lalu. Di tengah perayaan tahun baru China atau Imlek, virus ini menyebar sangat cepat di kota Wuhan yang menjadi salah satu kota terbesar di Tiongkok pada awal Januari 2020. Akibatnya, pemerintah Tiongkok menutup sementara akses publik dan transportasi dari dan menuju Wuhan untuk memutus matarantai penyebaran virus di tengah warga.

Dari Wuhan, virus ini menyebar ke lebih dari 200 negara hingga pertengahan April 2020 dan mengakibatkan ratusan ribu orang tewas akibat penyakit pneumonia akut yang disebabkan Covid-19. Termasuk Indonesia yang kini menjangkiti 5.136 orang dengan angka kematian 469 orang. Data itu termasuk data yang sudah masuk spesimen hasil pemeriksaan dari jaringan rumah sakit nasional dan swasta.

Sejumlah media mainstream telah mengingatkan akan bahaya Covid-19 melalui pemberitaannya dari sejumlah negara yang sudah terjangkit virus ini. Media bahkan turut andil besar dalam menciptakan kondisi psikologis publik menjadi larut dalam ketakutan akan penyebaran virus. Dampaknya, beberapa pasien rumah sakit yang dinyatakan tewas akibat Covid-19 yang akan dimakamkan mendapat penolakan sebagian warga. Ketakutan warga bahkan hingga ke tingkat paranoid atau suatu kondisi kejiwaan yang meyakini bahwa orang lain dapat membahayakan dirinya akhirnya tercipta.

Pemerintah juga mengamplifikasi bahaya Covid-19 hingga diberlakukan status darurat kesehatan oleh Presiden Jokowi dan penerapan Pembatasan sosial Berskala Besar (PSBB), khususnya di wilayah Jabodetabek. Kondisi ini semakin mengerucutkan kondisi paranoid masyarakat sehingga membuat aktivitas ekonomi mandek, aktivitas sosial budaya keagamaan juga dibekukan hingga ke ritual keagamaan yang berbasis pada dimensi sosial kemasyarakatan juga terhenti.

Akibatnya, masyarakat yang dalam kondisi paranoid tersebut dibuat tidak berdaya akan situasi yang diciptakan dengan dalih mengutamakan kesehatan dan keselamatan jiwa. Tentunya siapa yang tidak takut akan agitasi dan propaganda yang menyentuh relung paling dalam kejiwaan manusia. Yakni keselamatan hidup.

Propaganda berlanjut hingga ke tingkat yang paling privat termasuk menjaga jarak di tengah keluarga sendiri di dalam rumah. Individu diciptakan untuk tidak percaya pada individu lain di dalam satu keluarga. Kecemasan dan ketakutan akan kematian akibat virus Corona semakin menjadi dan meruntuhkan sendi-sendi sosial kemasyarakatan dan keluarga.

Bagaimana Covid-19, media dan struktur kekuasaan bekerja saat ini? Bagaimana kita menyikapinya?

Antonio Gramsci (1891-1937) dengan teori hegemoninya dapat menganalisa berbagai relasi kekuasaan dan penindasan di masyarakat. Perspektif hegemoni dapat menunjukkan pada kita lewat media massa yang menjadi alat kontrol kesadaran yang sangat berpotensi digunakan oleh penguasa. Hegemoni berasal dari bahasa Yunani, egemonia yang berarti penguasa atau pemimpin. Secara ringkas hegemoni adalah bentuk penguasaan terhadap kelompok tertentu dengan kepemimpinan melalui sebuah konsensus.

Media massa dalam dunia politik selalu berkaitan erat dengan upaya hegemoni penguasa. Fungsi media massa sebagai alat untuk mengawasi penguasa (pengritik) di masa lalu kini bergeser menjadi alat menyebarluaskan kekuasaan yang kemudian dapat diterima secara luas oleh masyarakat. Media massa memengaruhi cara kita bertindak dan menciptakan model terbaik atau ideal di tengah masyarakat.
Dari media massa maka akan terbentuk suatu kesadaran publik.

Kesadaran adalah perbuatan yang dilandasi pemahaman, ingatan, dan mengerti kondisi dirinya. Menurut Jean Paul Sartre (1905-1980) kesadaran bersifat intensional dan tidak dapat dipisahkan di dunia. Kesadaran sebagai keadaan sadar bukan merupakan keadaan yang pasif melainkan suatu proses aktif. Sementara kesadaran sosial adalah representasi jiwa seseorang akan dirinya sendiri dan orang lain (Wegner dan Guiliano, 1982).

Kesadaran sosial juga dapat dilihat sebagai sebuah presentasi dari persepsi individu tentang informasi yang berkaitan dengan tujuan sosialnya (Sheldon, 1996).

Publik saat ini secara konsensus melalui para penguasanya menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di tengah status darurat kesehatan secara nasional. Informasi yang didominasi media kini mengisi ruang publik dengan terus menggemakan langkah kebijakan pemerintah akan bahaya Covid-19. Ruang publik dihegemoni oleh paranoid Covid-19 yang dapat merenggut jiwa-jiwa manusia menuju kematian.

Juergen Habermas (1929-kini) berpendapat bahwa ruang publik memiliki peran sebagai wahana diskursus masyarakat, warga dapat menyatakan opini dan pendapatnya serta menuangkan gagasan akan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif. Ruang publik adalah syarat penting dalam berdemokrasi khususnya dalam menuangkan berbagai kegelisahan dan kecemasan serta aspirasi politik warga. Kini ruang publik kita sudah terisi berbagai kecemasan akan bahaya Covid-19.

Langkah aktif sebagai warga negara yang baik (good citizenship) adalah ketika seseorang dengan benar memenuhi peran mereka sebagai warga negara. Joel Westheimer seorang akademisi yang fokus pada pendidikan kewarganegaraan di Kanada, mengidentifikasi warga negara yang baik adalah yang bertanggungjawab secara pribadi atau yang bertindak secara bertanggungjawab dalam komunitasnya seperti menaati imbauan pemerintah untuk tetap diam di rumah selama penerapan PSBB. Termasuk juga menjadi warga negara yang berorientasi keadilan yakni tetap secara kritis menilai struktur sosial, politik dan ekonomi untuk melihat apa yang sedang terjadi saat ini.

Kini dengan penerapan PSBB di tengah status darurat kesehatan, masyarakat bersama media dan penguasa diajak untuk secara sadar menjaga dirinya dari bahaya Covid-19 yang dapat merenggut kehidupan sejati. Meskipun merelakan terjadinya kematian di sekitar akibat pandemi Covid-19. Termasuk terhentinya aktivitas sosial keagamaan, aktivitas ekonomi dan matinya ruang interaksi sosial secara fisik hingga lingkup pranata sosial terkecil yakni keluarga. Ini semua demi menjaga kelangsungan hidup dari bahaya virus yang digemakan mengakibatkan kematian dan massifnya penyebaran virus jika tidak dilakukan pembatasan aktivitas sosial. Jadi baiknya kita taati anjuran pemerintah melalui amplifikasi media massa untuk tetap berdiam di rumah dan menjaga harkat kemanusiaan kita. (JT)